Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air SJY-182 rute Jakarta-Pontianak setelah Empat Menit Take Off

 

Sumber gambar: ekonomi.bisnis.com



Sriwijaya Air adalah sebuah maskapai penerbangan di Indonesia. Dan saat ini, Sriwijaya Air adalah Maskapai Penerbangan terbesar ketiga di Indonesia, dan sejak tahun 2007 hingga saat ini tercatat sebagai salah satu Maskapai Penerbangan Nasional yang memiliki standar keamanan nomor 1 di Indonesia. Tetapi, tidak ada yang tahu kapan musibah itu datang. (dilansir dari id.m.wikipedia.org) 



Di awal tahun 2021 ini tepat pada tanggal 9 Januari, Indonesia mengalami duka yang sangat mendalam dari Pesawat Sriwijaya Air SJY-182 hilang kontak pada pukul 14.40 WIB rute Jakarta - Pontianak yang mengangkut 62 orang (termasuk awak kabin) dan dikabarkan jatuh di antara Pulau Laki dan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu sesaat setelah lepas landas 4 menit dari Bandara Internasional Soekarno Hatta. Pesawat itu di produksi sekitar tahun 1994. Dari jumlah tersebut, 40 orang dewasa, 7 anak-anak, dan 3 bayi. 


Setelah lepas landas dari bandara, pesawat akan diarahkan menuju titik yang disebut Winar dan belok ke kanan, ke titik Arjuna. Dari Arjuna, dia kemudian bergerak ke timur laut (pada peta, ke arah serong atas kanan) menuju Pontianak.


Pada beberapa kondisi, pesawat bisa diarahkan ke titik Abasa, jalur pintas. Sesuai prosedur, perpindahan jalur ke titik Abasa biasa terjadi jika cuaca baik, tidak ada awan tebal, dan kondisi lalu lintas di udara cenderung sepi sesuai arahan Air Traffic Controller (ATC). Setelah dari Abasa, dia akan bergerak menuju destinasi.


Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, kondisi cuaca kala pesawat terbang sedang hujan dan disertai petir dengan jarak pandang sejauh 2 kilometer. Meski demikian, cuaca ini dikategorikan layak terbang atau mendarat.


Upaya perpindahan jalur ke Abasa diduga dilakukan oleh sang pilot pada penerbangan 9 Januari siang hari, sebelum kecelakaan terjadi.


Alih-alih berbelok ke arah timur laut posisi titik Abasa, ia justru sempat berbelok ke arah barat jalur normal dan kemudian tak lama kembali ke timur, dan jatuh. Pada saat membelok ini, ketinggian pesawat menurun dari 3.322 meter di atas permukaan laut (mdpl), ke posisi 2.476 meter dalam waktu 10 detik.


Si burung besi yang berusia 26 tahun ini tercatat terjun bebas dari puncak ketinggian 3.322 mdpl hingga 76 mdpl sebelum akhirnya hilang kontak.


Pada saat menyentuh air, diduga mesin pesawat belum mati sehingga masih mengirimkan data koordinat, ketinggian, dan kecepatan.


Data radar (ADS-B) yang diperoleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dari Airnav Indonesia juga menunjukkan demikian.


Seberapa cepat pesawat terjun bebas? Menilik data Flightradar24, kecepatan vertikal (vertical speed) pesawat puncaknya hingga -30.000 kaki per menit (fpm). Angka minus dalam data tersebut, menunjukkan pesawat terjun bebas.


Saat terjadi puncak kecepatan vertikal, pesawat berada di ketinggian 8.125 kaki atau sekitar 2.476 mdpl, pada pukul 14:40:16 WIB.


Secara matematis, dengan kecepatan tersebut, ia hanya membutuhkan 16 detik untuk menyentuh air. Tapi, kenyataannya, baru 11 detik dia sudah hampir jatuh ke laut, berada di ketinggian 76 mdpl. 


Pesawat sempat mengirimkan data radar dengan kecepatan vertikal bernilai positif, 20.000 fpm, setelah terjun bebas. Nilai positif bisa diartikan posisi pesawat menanjak.


Tapi, dalam konteks pesawat PK-CLC, belum tentu pesawat sempat menanjak setelah terjun bebas. (dilansir dari bbc.com) 15 Januari 2021


Pesawat Sriwijaya Air SJ182 Jakarta - Pontianak take off pada pukul 14.36 WIB, pukul 14.37 WIB masih 1700 kontak di izinkan naik ketinggian 29.000 kaki, dengan mengikuti instrumen yang ada. Pada pukul 14.40 WIB dari Jakarta melihat tidak ke arah 075 derajat melainkan ke barat laut. Tidak lama kemudian, dalam hitungan detik Pesawat Sriwijaya Air SJY-182 hilang dari radar.


Mengamati serpihan pesawat yang sudah ditemukan, kemungkinan penyebab utamanya adalah masalah teknis semacam bahan bakar bocor sekitar mesin. Dengarnya, Pesawat Sriwijaya Air SJY-182 tak beroperasi 9 bulan sebelum terbang, dari 23 Maret 2020 hingga 18 Desember 2020 lantaran pandemi Covid-19. 


Pandemi berdampak pada industri aviasi, termasuk pesawat dikandangkan dan sejumlah kru penerbangan tidak terbang. Selama pandemi, federasi penerbangan IATA telah mengimbau maskapai penerbangan untuk mengidentifikasi risiko dan mengecek pesawat yang akan kembali beroperasi setelah lama dikandangkan.


Beberapa risiko yang muncul di antaranya bisa dari beragam faktor, misal kondisi pesawat, bandara, dan faktor manusia, mulai dari pilot hingga kru penerbangan.


Selain itu, maskapai juga diminta untuk memberikan pelatihan kepada para pimpinan untuk menerapkan pendekatan berbasis empati untuk mengelola tim dan performa selama pandemi. (dilansir dari bbc.com) 15 Januari 2021



Penulis: Fathia Asmadiah Lenggana

Editor: Tim Penerbit


Posting Komentar

9 Komentar