Yang Tersalahkan



Generasi muda. Ada apa sih dengan generasi muda? Sepertinya objek yang satu ini selalu menarik untuk dibahas. Karena generasi muda merupakan salah satu objek yang unik dengan berbagai macam tingkah lakunya. Dan generasi muda mampu membuat suatu perubahan. 


Ir. Soekarno pernah berkata: “Seribu orang tua hanya bisa bermimpi, tapi seorang pemuda mampu mengubah dunia”. Kalimat lainnya: “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Sebegitu pentingnya generasi muda dalam sebuah peradaban. Namun, bagaimanakah generasi muda Indonesia di zaman sekarang ini?

Terlepas dari banyaknya prestasi generasi muda (remaja) Indonesia zaman sekarang ini, tak sedikit juga kasus kenakalan remaja bermunculan di berbagai stasiun televisi, radio, dan berbagai sosial media yang ada. Ada beberapa contoh kasus yang Saya dapatkan dari berbagai portal media di google tentang kasus kenakalan remaja tahun 2019 ini, seperti:

- Tawuran yang Dipicu Karena Aksi Saling Tantang di IG, Nyawa Pemuda di Jaksel Melayang.

- Bolos Massal, 71 Pelajar SMK dari Bogor Ditahan di Polres Banyumas.

- 122 Remaja di Jakarta Barat Terlibat Kejahatan Jalanan.

- Tawuran di Magelang Dirancang Rapi agar Tak Terendus Polisi.

- Hanya Gara-Gara Berebut Duduk Paling Depan di Kelas, Nasib Remaja Berakhir Tragis.

- Viral Ulah Remaja Acak-acak Kulkas Minimarket.

- 4 Remaja Rusak Puluhan Mobil Mewah, Dealer Rugi Bandar.

- Sejumlah Remaja di Kebon Jeruk Tawuran Pakai Senjata Tajam.

- Pelajar SMA Bekasi Ingin Perkosa Ibu berusia 40 Tahun, Akibat Pengaruh Minuman Beralkohol.

- Viral Video Siswa Minum Anggur Merah di Kelas.


Ini hanya beberapa kasus yang Saya tuliskan dari sekian banyak kasus-kasus lainnya. Miris memang melihatnya. Tapi, semua ini sepenuhnya bukan hanya kesalahan mereka saja. Ada banyak faktor yang menyebabkan mereka melakukan kenakalan saat remaja. Salah satunya adalah pola asuh orang tua.

Saat kuliah dulu, Saya melakukan penelitian untuk skripsi yang berjudul “KORELASI POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KEPRIBADIAN SISWA DI SMP IBNU ‘AQIL BOGOR”. Ternyata hasil akhirnya adalah, bahwa mayoritas pola asuh yang diterapkan oleh orang tua siswa SMP Ibnu ‘Aqil Bogor adalah pola asuh yang otoriter, komunikasi yang hanya dilakukan satu arah, yaitu orang tua yang berkuasa di rumah. 

Dan bahwa antara variabel X (pola asuh) dengan variabel Y (kepribadian) memang terdapat korelasi, akan tetapi korelasi itu sangat lemah atau sangat rendah sehingga korelasi itu diabaikan (dianggap tidak ada). Saat Saya jelaskan hasilnya kepada Dosen Penguji, mereka sempat bingung, kenapa tidak ada korelasi antara pola asuh orang tua dengan kepribadian anak? Sampai perhitungan kuantitatifnya dihitung ulang berkali-kali, tapi tidak ada yang salah. 

Ini membuktikan, bahwa di zaman sekarang ini, peran orang tua di rumah dalam membentuk kepribadian anak sangat rendah. Anak lebih sering dipengaruhi oleh teman-temannya, dunia internet, dan lingkungan sekitarnya. Semua pengaruh ini yang lebih dominan membentuk kepribadian anak zaman sekarang dibandingkan dengan asuhan orang tua di rumah. Padahal seharusnya rumah adalah sekolah pertama bagi anak.

Saat Saya menjadi seorang guru di SMP dan SMK, Saya sempat bertanya ke beberapa anak: “Apakah kalian dekat dengan orang tua kalian?” Jawaban mereka mengejutkan, semua kompak menjawab tidak. Padahal Saya bertanya kepada mereka di tempat yang berbeda-beda, dan dalam waktu yang berbeda-beda. Saat Saya tanya kenapa tidak dekat? Mereka kompak lagi menjawab: “Orang tua Saya terlalu sibuk, Bu. Mereka sibuk kerja, pulang kerja kadang lebih sibuk dengan handphonenya. Saat Saya mau curhat pun malah diabaikan, dibilangnya menganggu. 

Bahkan ada yang tidak menanggapi. Makanya Saya lebih suka curhat dengan teman, atau curhat di media sosial. Terus apapun yang diperintahkan orang tua Saya, harus dilakukan. Ga pernah ada yang namanya diskusi atau minta pendapat Saya. Pokoknya Saya selalu salah dimata orang tua Saya. Akhirnya Saya lebih suka menyendiri di kamar, sibuk dengan dunia Saya sendiri”.

Mungkin ini sebuah kebetulan yang Saya temui, karena Saya yakin masih banyak orang tua yang mendidik anaknya dengan sangat baik. Dalam Islam, mendidik anak juga ada ilmunya. Jika orang tuanya saja tidak peduli terhadap anaknya, maka wajar jika anak bertingkah laku menyimpang. Bahkan sampai ada anak bunuh orang tuanya sendiri. Ada hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

"Barang siapa tidak mengasihi (anaknya), maka dia tidak akan dikasihi (anaknya)”

Anak akan selalu meniru apa yang orang tuanya lakukan. Inilah pentingnya orang tua memberikan teladan yang baik bagi anaknya.

Ada lagi quote yang terkenal dari Ali bin Abi Thalib r.a.

“Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu”

Dari quote ini saja ternyata dalam Islam juga diajarkan untuk mendidik anak sesuai zamanya, tidak otoriter sesuai yang dianut oleh orang tua zaman dahulu, perlu adanya penyesuaian. Ali bin Abi Thalib r.a. pun mengelompokkan cara mendidik anak menjadi tiga kelompok berdasarkan usianya:


1. Kelompok 7 tahun pertama (usia 0-7 tahun), perlakukan anak sebagai raja. Pada fase ini bukan berarti orang tua memanjakan anak. Tetapi sikap orang tua adalah melayani anaknya saat anak membutuhkan. Bukan berarti kita menuruti semua keinginan anak, melainkan memberikan perhatian penuh kepada anak, karena di usia inilah mereka mengalami masa emas. 

Saat maksimal pembentukan sel otak 70%, dan kemampuan anak menyerap informasi masih sangat kuat. Jangan serahkan sepenuhnya pada pengasuh, kecuali jika memang terpaksa. Rawatlah mereka dengan tangan kita. Perhatian kecil yang sederhana tapi tulus dari lubuk hati, pasti akan membekas pada mereka. Ini akan berdampak pada saat orang tua sudah menjadi tua renta, maka anak akan memperlakukan hal yang sama terhadap orang tuanya.


2. Kelompok 7 tahun kedua (usia 8-14 tahun), perlakukan anak sebagai tawanan. Pada fase ini, anak sudah mulai diberikan pemahaman tentang hak dan kewajibannya, tentang akidah dan hukum agama yang diwajibkan ataupun dilarang. Pada fase ini, anak sudah boleh diberikan teguran atau hukuman jika tidak melaksanakan kewajibannya, karena anak harus tahu bahwa segala sesuatu ada konsekuensinya yang harus dipertanggung jawabkan. 

Jika dalam fase ini orang tua gagal mendidiknya, maka anak tidak akan mengetahui apa yang harus dia lakukan, dan apa yang harus dia hindari. Ini nantinya akan membuat anak memiliki perilaku yang menyimpang, karena dia tidak tahu mana yang baik, mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan, dan mana yang tidak boleh dilakukan.


3. Kelompok 7 tahun ketiga (usia 15-21 tahun), perlakukan anak sebagai sahabat. Usia 15 tahun adalah usia umum saat anak menginjak aqil baligh. Sebagai orang tua, sebaiknya memposisikan diri sebagai sahabat dan memberi contoh atau teladan yang baik. Karena saat anak menginjak usia aqil baligh, akan ada banyak perubahan yang terjadi dalam dirinya. 

Dia akan memiliki banyak pertanyaan seputar hidupnya saat itu yang sudah menjadi remaja. Jika orang tua tidak bisa menjadi sahabatnya pada fase ini, maka anak akan mencari sahabat yang lain, yang bisa dijadikannya sebagai tempat bertanya dan curhat. Jika sahabatnya baik, maka alhamdulillaah anak akan baik pula. Tapi bayangkan, jika dia mendapatkan sahabat yang tidak baik, curhat ke orang yang salah, kira-kira apa yang akan terjadi? 

Bisa jadi anak tersebut akan diajak kepada hal-hal yang tidak baik. Misalnya, jika si anak sedang galau, atau sedang ada masalah, terus curhat sama sahabatnya, dan sahabatnya menyarankannya untuk melepaskan masalah tersebut dengan minum minuman keras, mengkonsumsi narkoba, seks bebas, dan sebagainya, maka si anak akan menurutinya, karena dia merasa sahabatnya peduli dengan dia. Dan sahabat cenderung ikut-ikutan melakukan apapun yang dilakukan sahabatnya, agar dibilang setia kawan. Jadi, orang tua sangat dibutuhkan oleh anak pada fase ini sebagai sahabatnya. Sahabat yang memberinya ruang di hatinya, memberinya perhatian, kasih sayang, kepedulian, tanggung jawab, dan kepercayaan. 

Pada fase ini juga orang tua tetap harus mengontrol anaknya, karena keingintahuan anak semakin tinggi saat fase ini. Jangan sampai anak lepas kontrol, dan mencari tahu apapun yang ingin dia ketahuinya sendiri dengan cara yang salah.

Jadi, jika ada generasi muda yang berperilaku menyimpang, jangan langsung dicemooh, Cari tahu akar masalahnya. Karena mereka tetaplah anak-anak yang masih butuh perhatian, kasih sayang, kepedulian, kepercayaan, dan bimbingan. Jika orang tua bisa memahami dan mempraktekkan semua ini, mudah-mudahan kelak bisa memunculkan generasi muda Indonesia yang berakhlak mulia, berkualitas, dan berprestasi baik, aamiin yaa Allah.

Sayangi anakmu, maka engkau menyayangi dirimu sendiri.



Semoga Bermanfaat
Penulis: Nur Aini Rangkuti
Jalan Jabaru 1 RT. 02 RW. 05 No. 23 Kelurahan Pasirkuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, 16119

Posting Komentar

0 Komentar