Te Amo Mi, Alma



Malam ini masih terasa sama bagi Alma, duduk di sebuah kursi rotan, dan lagi hanya bertemankan sebuah buku kecil, yang terlihat masih terbalut kertas sampul berwarna biru yang hampir memudar. Matanya kembali memandang langit malam yang dipenuhi oleh bintang, dan selalu hanya bulan yang dia lihat lebih terang. Alma tahu, bintang selalu terlihat memenuhi langit malam, namun tak adil rasanya jika cahaya bintang yang terlihat lebih banyak, harus dibilang yang paling terang di langit malam, dari pada bulan yang selalu terlihat sendirian, seperti dirinya selama ini.


Dari kecil hidup sebagai anak panti, membuat dirinya merasa berbeda dari anak lain seusia dirinya saat itu. Tanpa tahu identitas orangtua, Alma kecil selalu mendapatkan bullyan dari teman-teman bermainnya, banyak julukan yang ia dapatkan, namun tak satupun yang ingin dia ingat kembali.


Alma kecil terus dipenuhi rasa rindu akan kehangatan dan kasih sayang, namun ia sendiri tidak tahu pasti, bagaimana rasa merindukan sosok yang telah meninggalkannya sendirian di depan pintu sebuah panti asuhan, dan jika sosok itu ingin dilupakan, seharusnya tidak ia tinggalkan buku ini bersamanya, di keranjang bayi yang ia tempati saat pertama ditemukan.


Beranjak remaja, Alma semakin penasaran dengan siapa sebenarnya dirinya, tidak ada petunjuk yang dapat ia temukan, kecuali mendengar cerita dan rumor yang seharusnya tidak di dengar oleh seorang anak remaja. Tangisan menjadi hal biasa untuk pelampiasan rasa kekesalan, amarah, dan semuanya bercampur aduk menjadi satu, membuatnya pernah ingin mengambil jalan buntu, dengan meracuni diri sendiri. Tapi takdir berkata lain, Tuhan masih memiliki jalan cerita yang begitu menakjubkan untuk dirinya.


Dan saat hari itu tiba, akhirnya Ibu panti asuhan yang telah menjelma sebagai orangtuanya selama ini, mengajaknya ke depan sebuah lemari di dalam kamarnya, di sana Alma melihat Ibu panti mengambil sebuah buntelan kain batik yang sudah terlihat sangat lusuh dan berdebu. Ibu itu memintanya untuk duduk di dekatnya, sambil membuka buntelan kain itu dengan tangan bergetar di atas pangkuannya. Saat ikatan kain mulai terlepas, di sana Alma melihat sebuah buku kecil yang ia tidak mengerti, ada apa dengan buku itu, sehingga begitu berharganya untuk dilindungi. Namun berbeda dengan Ibu panti, hari itu seakan menjadi hari terberat baginya untuk membagikan luka yang tergores di dalam buku ini, kepada seorang anak remaja yang hampir saja ingin merenggut nyawanya sendiri.


Alma yang diberikan buku itu, hanya bisa terdiam menyimpan tanda tanya besar, ia tidak sanggup untuk bertanya karena melihat Ibu panti yang telah mengeluarkan air mata saat menatap dan memeluknya dengan erat.


Tiada perbincangan yang terjadi, dan saat itu ia ditinggalkan sendiri di kamar itu. Buku yang terus menarik rasa penasarannya, mulai ia buka dengan penuh kehati-hatian, dan benar saja, ada nama yang ia sangat kenal tertulis dengan tulisan rangkai pada lembar pertama buku itu dibuka, dan nama itu adalah namanya, Alma Glans.


“Glans itu berasal dari bahasa ayahmu, yang katanya Glans itu artinya bersinar, dan nama Alma, Mama yang memberikannya kepadamu, Alma itu juga punya arti yang spesial, yaitu jiwa. Namamu sungguh kami buat dengan istimewa, dan berharap ada jiwa yang akan terus bersinar terang dan dapat menjadi cahaya baru di keluarga kecil kita. 

Namun, tuhan memilihkan jalan yang berbeda, cinta mama dan ayahmu tidak direstui oleh kedua belah pihak keluarga, ayahmu dipaksa pulang ke Belanda, dan mama juga dijemput pulang untuk balik ke Spanyol, dan kamu yang baru lahir tidak di izinkan untuk masuk ke keluarga besar, mama tidak sanggup jika harus meninggalkan kamu, namun itu satu-satunya jalan bagi mama, agar suatu hari nanti kita masih bisa dipertemukan kembali, dan maafkan mama harus meninggalkan kamu di sini, dan membiarkanmu tumbuh tanpa ada rasa kasih sayang seorang ayah dan ibu. Jika kamu sudah besar nanti, dan saat kamu telah membaca tulisan ini, mama minta, jadilah jiwa yang bercahaya bagi kehidupanmu nantinya. Te amo mi, Alma”.


Itulah hari dimana aku, menemukan siapa aku, dan disana terselip sebuah foto dengan menampakkan jelas sepasang jiwa berseragam sekolah yang duduk di tepian sebuah sungai yang airnya berwarna biru, dan dengan pemandangan pegunungan dibelakangya, apa mereka ayah dan mamaku?




Semoga Bermanfaat
Penulis: Dina Nafsirul Rahmah

Posting Komentar

0 Komentar