Mentari sudah hampir membenam, sementara aku masih terduduk di kursi kemudi. Mobil-mobil mematung di sepanjang sisi. Begitupun minibus yang terus mengepulkan awan-awan hitam, menimbulkan orkestra berbagai kendaraan yang berada di belakangnya. Kemacetan di tengah metroplitan membuatku rindu akan rumah, lenggang dan sunyi. aku masih teringat suasananya. Sebelah tanganku kemudian membuka dashboard di sisi kursi, menjamah sebuah buku tulis; angka-angka menghiasi sampulnya yang telah usang dimakan usia. Mungkin apa yang kualami saat ini takkan terjadi, kalau saja bang Joni—kakak tertuaku tidak melakukan gencatan terhadap idenya konyolnya masa itu.
"Ayo ikut aku! Ada harta karun yang harus kita cari," katanya berapi-api. Pagi itu kami sedang berada di sungai, mengawasi kerbau-kerbau bapak yang sedang mandi.
"Kamu mau curi singkong tetangga lagi?" sindirku terang-terangan.
Bang Joni cemberut. "Ini lebih dari sekadar singkong, Dim," matanya menerawang ke depan, "Kalau dapat kamu bisa jadi apa saja!"
Aku yang usianya masih seumur jagung muda hanya bisa bergeming dan mengiyakan kata-kata 'kelewat bijak' Bang Joni. Sejak saat itu kami harus berangkat pagi buta, melewati tanjakan pegunungan tiap harinya demi 'harta karun' yang menjanjikan. Awalnya aku terlampau bersemangat, sampai kami tiba di sebuah gedung besar bertulis 'sekolah dasar' begitu Bang Joni membaca, sebab aku masih buta aksara saat itu. Tulisannya terpampang di atas tembok. Kukira ia akan membawaku ke dalam sana, alih-alih kami mengendap menuju ilalang liar belakang bangunan tersebut.
Aku menagih janji perihal harta karun padanya. Ia kemudian menunjuk sebuah lemari yang dibatasi oleh jendela bangunan tak jauh dari tempat kami bersembunyi. Jadi, kami harus menunggu wanita tua berpakaian formal di sana mengoceh sampai bell pulang. Setelah itu, Bang Joni dan aku akan masuk ke dalam ruangan; mengambil 'harta karun' berupa buku tebal berangka di dalam lemari yang tak terkunci itu. Ritual ini terus kami lakukan sepanjang hari.
Dari sinilah aku mengenal minatku dalam menimba ilmu terutama bidang hitungan. Kami sungguh menikmatinya—dari luar jendela; mendengar dengan saksama selagi guru di dalam ruangan itu mengajar. Sampai pada suatu hari, seorang satpam keliling melihat kami di depan pintu kelas. Alhasil Bang Joni dan aku tertangkap karena disangka maling. Padahal kami sedang mengembalikkan buku waktu itu.
Sebelah tanganku bergetar memegang setir. Mengingat kenangan tersebut membuatku tertawa. Petuah Bang Joni ada benarnya. Aku bisa menjadi apapun; meraih cita-cita yang kuimpikan. Senang rasanya setelah lulus dari bangku universitas, seperti saat ini; aku bisa menjadi seorang pengajar seperti wanita tua itu.
Yogyakarta, 2019
Semoga Bermanfaat
Penulis: Cesila Anggita
0 Komentar